Jakarta sebagai kota megapolitan dan ibu kota yang akan
ditinggalkan menyimpan banyak cerita. Salah satunya soal pembangunan. Mulai
dari pembangunan kos-kosan, rumah tetangga, gedung dinas plat merah,
gedung-gedung milik swasta hingga pembangunan infrastruktur baik jalan,
jembatan hingga moda transportasi.
Sebagai pemuda yang lahir di akhir dekade 90-an dan sampai
sekarang masih tercatat di aplikasi alpukat (aplikasi dukcapil milik
pemda DKI). Saya melihat dan merasakan dengan seksama perkembangan, pertumbuhan
dan pembangunannya kota ini. Salah
satunya adalah pembangunan dalam bidang transportasi.
Selain MRT dan LRT yang sekarang sedang dikebut. Sudah ada
Trans Jakarta yang lebih dulu hadir dan familiar di mata warga Jakarta. Trans
Jakarta atau TJ sudah dimulai diakhir periode Gubernur Foke dan hingga kini
masih terus disempurnakan. Baik dari segi armada, halte, hingga sistem
pembayarannya.
Masalah transportasi adalah hal yang penting bagi kota-kota
besar. Terlebih Jakarta, kota yang identik dengan kemacetannya. Wajar jika
janji "bebas macet" selalu hadir dalam setiap kampanye pilgub
lima tahunan.
Namun dari zaman ke zaman janji tinggal janji. Seolah warga
Jakarta ogah menggunakan transportasi umum dan asik pada kendaraan
pribadi. Menujukan betapa kurang pekanya pemerintah daerah dalam mengenali sifat
dan kebutuhan warganya. Nah pada tulisan saya ini, saya akan bahas alasan
mengapa banyak masyarakat Jakarta ogah naik transportasi umum.
#1 Trayek jauh dari rumah
Banyak orang memilih naik ojol atau opang karena trayeknya jauh
dari rumah. Sebenarnya pemda sudah menyiasati dengan memasang plang stop bus
untuk kendaraan umum. Tapi masalah pemasangan plang stop bus masih belum
strategis. Sepertinya perlu ditinjau ulang. Masa plang stop bus ada di
daerah lapang tanpa atap untuk berteduh.
Selain itu plang stop bus belum terintegrasi dengan baik.
Contohnya ketika orang ingin berpindah moda dari KRL, TJ atau trans Jakarta ke
Jaklinko maka ia harus berjalan kaki 50 sampai 100 meter menjauh keluarg dari stasiun
atau halte Trans Jakarta.
Pemda juga sudah berusaha membangun jaringan transportasi
terpadu. Dari trans jakarta, metro trans Jakarta pengganti kopaja dan
metromini, hingga Jaklinko yang masuk ke jalur-jalur kampung. Tapi masih butuh
evaluasi agar satu dengan yang lainnya konek dan tidak terputus di tengah jalan.
Usaha lain dari pemda adalah biaya nol rupiah untuk moda
transportasi Jaklinko. Menurut saya ini menguntungkan sekali. Tapi tetap saja masih
banyak warga yang enggan naik transportasi umum. Dari sini kita dapat mengambil
pelajaran gratis belum tentu laris.
#2 Titik turun jauh dari tujuan
Memang agak susah-susah gampang menerka apa yang pikirkan
warga +62 khusunya warga Jakarta. Selain trayek yang jauh dari rumah, titik
turun juga jadi alasan.
Warga Jakarta sudah terbiasa naik transportasi umum
konvensional yang bisa turun dimana saja tinggal bilang “kiri bang”.
Kini harus disiplin turun di titik yang sudah ditentukan. Moda TJ sampai
Jaklinko, semua tidak mau berhenti sembarangan karena sudah ada S.O.P nya.
Kalau berhenti sembarangan maka mereka akan mendapatkan sanksi.
Maka pilih transportasi umum yang dikelola pemda ini tidak
populis di mata masyarakat. Walaupun gratis tapi tetap harus “jaki”
(jalan kaki) tidak jauh memang, tapi ya tetep tidak mau, alasannya "cape".
#3 Tidak punya tiket
Salah satu syarat naik moda transportasi terpandu pemda DKI
adalah punya uang elektronik berupa kartu. Baik kartu dari bank swata atau bank
BUMN semua bisa dipakai.
Moda ini juga tidak menerima uang tunai kecuali dibeberapa
titik. Ini dianggap cukup ribet dan menyulitkan. Padahal jika kartu berupa uang
digital tersebut bisa dipinjamkan seperti KRL mungkin bisa lebih fleksibel dan menarik minta masyarakat. Konversi uang
kertas dan koin ke uang elektronik nyatanya belum diterima secara merata oleh
masyarakat sekelas warga DKI.
#4 Males berjubel
Berjubel atau berdesak-desakan adalah resiko menggunakan
transportasi umum. Terlebih pada jam berangkat dan pulang kerja. Kondisi
transportasi umum bagaikan ikan teri dibungkus koran. Mepet-mepetan.
Berdesak-desakan di transportasi umum bagi beberapa orang
adalah hal yang sangat dihindari dan sangat membuat risih. Ketika
berdesak-desakan kita lebih sering lengah. Boro-boro bisa konsentrasi
untuk menjaga barang-barang milik kita. Bisa berdiri dengan seimbang saja juga
sudah bersyukur.
Berdesak-desakan juga menimbulkan ketidak nyamanan. Dari
mencium bau badan orang yang campur aduk jenisnya sampai potensi kriminalisasi.
Potensi kriminal mulai dari copet hingga pelecehan seksual adalah resikonya.
Untungnya semenjak pandemi semua moda transportasi dibatasi agar tak terlalu
penuh hingga memberikan ruang yang cukup nyaman bagi para penggunanya. Semoga
bisa diterapkan terus ya pak Gub.
#5 Takut pelecehan seksual
Walaupun di setiap moda sudah disediakan area khusus
wanita. Masih banyak berita mengabarkan
pelecehan seksual di transportasi umum yang cukup membuat ngeri. Maka tidak
jarang untuk menghindari hal itu masyarakat memilih naik ojok atau taksi
online. Selain menjaga privasi tentu juga meminimalisir tindakan kriminal.
Untuk soal kriminalitas kita harus ingat pesan bang napi ya “kejahatan terjadi
tidak hanya karena niat pelakunya tapi ada kesempatan, waspadalah, waspadalah.”
Selain area khusus wanita. Disetiap moda juga sudah
terpasang CCTV. Tapi mungkin yang belum terekspos dari berita tindak pelecehan
seksual di transporasi umum adalah hukum bagi para pelaku pelecehan seksual itu
sendiri. Selain itu, pendidikan serta langkah preventif, dan pengaduan untuk
setiap pengguna moda transportasi umum juga harus dilakukan. Agar kita semua
tahu cara mencegah dan apa yang harus dilakukan jika kita melihat atau menjadi
korban pelecehan.
#6 Sudah punya kendaraan pribadi
Alasan ini adalah alasan yang paling umum dan juga alasan
utama. "Kan udah punya motor, ngapain naik bus" Kalimat ini
yang sering muncul ketika saya bertanya pada teman. Walaupun jarak rumah dan
tempat kerja jauh. Tapi karena sudah punya motor ia lebih pilih naik motor
dibandingkan naik transportasi umum.
Kelemahan transportasi umum dibandingkan transportasi
pribadi tentu jika jarak yang ditempuh jauh. Maka pengguna transportasi umum
harus nyambung-nyambung naik turun agar sampai ke tujuan. Berbeda dengan
motor dari awal sampai akhir ya ada di atas jok, sampe pengel sampai lecet
kecuali saat isi bengsin.
#7 Gak mau naik transportasi umum
Alasan selanjutnya adalah alasan yang tidak ada solusi.
Kalau punya motor, masih ada kemungkinan naik transportasi umum pas motor rusak
atau cape dan kurang enak bandan. Tapi kalau sudah tidak mau ya pasti cari-cari
alasan buat tidak naik transportasi umum.
Demikianlah tujuh alasan, eh enam alasan deh kenapa
masyarakat DKI ogah naik transportasi umum. Yang ketujuh itu bukan
alasan tapi mungkin pantangan aja. Jangan-jangan kalau dilanggar ilmunya ilang
atau nasib sial menghampiri.