It’s Okay Not To Be Okay
Arghh.. siang yang melelahkan. Setelah menghabiskan hampr 6 jam disekolah, akhirnya aku bisa kembali kerumah. Setelah mendengar kabar bahwa covid-19 telah menjangkiti 2 warga negara Indonesia pada awal Maret 2020, “ah.. membosankan” batinku. 2 minggu ku jalani hari dengan kebiasaan baru yang tidak memperbolehkan bersalaman, sekalipun dengan guru. Awalnya aku merasa seperti tidak menghormati orang yang lebih tua, canggung rasanya. 2 minggu itu cukup singkat bagiku untuk menjalaninya. H-1 hari ulang tahun temanku, pada 14 Maret 2020 kami diharuskan untuk belajar dirumah mulai tanggal 16 Maret karena pandemi virus Corona (covid-19). Sungguh awal yang menyengkak.
Keadaan semakin buruk. Hal yang tak pernah terlintas dibenakku benar-benar terjadi. Entah mengapa separuh otakku sedang berpesta pora mendengar kabar ini. Akhirnya aku bisa mendapat waktu istirahat yang layak. Dan yang paling penting, dengan ini aku dapat menata ulang rutinitasku yang berantakan setiap harinya. Tapi tentu saja, sisanya separuh otakku sedang cemas dengan keadaan ini. Banyak sekali tanda tanya diotakku ini “bagaimana jika..? bagaimana caranya...? apa mungkin bisa..?” arghh, sangat pusing memikirkannya. Dan tentu saja pandemi ini akan berdampak fatal bagi semua orang. Tunggu! Artinya dengan semua ini yang terjadi, aku takkan bisa keluar rumah?! Benar-benar awal yang memuakkan.
Waktu terlampaui seperti jam rusak. Terasa seperti tidak berdetik sekalipun. Kapan ini akan berlalu? Sungguh perasaan suntuk terparah yang pernah aku rasakan. Semua kelas dan pembelajaran beralih dan bertransformasi menjadi tumpukan tugas yang tak ada akhirnya. Aku salah mengenai asumsiku bahwa aku akan dapat mengatur waktuku lebih baik. Nyatanya aku semakin kewalahan. Tugas-tugas semakin banyak yang menumpuk karena banyak hal yang juga harus dilakukan, ditambah cara kerja otakku yang menurun karena sekolah online ini. Rasanya ingin ku muntahkan saja semua pikiran diotakku yang sudah seperti benang kusut ini.
Aku kebingungan sendiri dari mana aku harus mulai. Sugguh menyedihkan, yang kulakukan hanya berbaring di ranjang, menatap langit langit dengan tatapan nanar. Sikapku yang sudah tak ingin peduli ini mengundang orangtuaku untuk menceramahiku tak ada hentinya. Sudah tidak bisa dihitung jari berapa kali aku sudah bersilat lidah dengan ibuku. Selangkah lagi, aku akan melewati batas kewarasanku. Ini sungguh mimpi buruk!!
Hari demi hari berlalu dengan batasan yang tak ada satu orang pun yang bisa menjawab kapan ini akan berakhir. Semua orang hidup dalam tanda tanya besar. Kapan keadaan ini akan berlalu? Sangat lama dan masih berlanjut entah sampai kapan. Bosan sudah nyata adanya, tapi kini sudah menjelma menjadi teman karib. Sepi bagaikan kawan lama yang menyapa. Tanpa sadar, kita sudah berjalan cukup jauh dalam batasan ini, sampai bermunculan kebiasaan baru yang awalnya terasa asing namun hari ini sudah menjadi suatu kebiasaan.
Pagi ini, aku membuka ponselku yang sudah seperti teman hidupku. Bagaimana tidak? Keadaan ini membuat semuanya serba online, menjadikan hari-hariku selalu ditemani ponsel dan laptop ku. “ahhh.. kenapa guru-guru sering kali hanya memberi kami tugas, tugas, dan tugas, tanpa memberikan pemahaman materi terlebih dahulu? Ditambah cara belajarku yang tergolong visual, membuatku semakin kesulitan. Apa tidak memikirkan keadaan otakku yang bisa-bisa meledak memikirkan tugas tiada hentinya? Bisa bisa nilaiku menurun drastis, huft!” umpatku.
Hari yang melelahkan. Tugas-tugas yang diberikan guru sangat tidak masuk akal. “masa iya kami harus mengerjakan tugas sebanyak itu dengan waktu singkat?”. Percuma saja, keluhanku tidak membuat guruku berubah fikiran. Rasanya seperti buang-buang waktu saja. Hari-hariku hanya terisi bersama ponsel dan laptopku. OH YA! Untung saja aku memiliki teman virtual, syukurlah.. aku bisa merefresh otakku bersama mereka. “Betapa beruntungnya aku memiliki mereka yang selalu menghibur dan menyemangatiku” ah sepertinya sangat berlebihan. Tapi perkataanku itu ada benarnya juga.
Besok adalah perayaan hari raya Idul Adha. Diujung gang rumahku, aku mendengar mereka para wanita paruh baya yang tinggal tak jauh dari rumahku bercerita, berbisik, dan mengatakan bahwa salah satu tetangga ku ternyata dinyatakan positif covid-19, juga suami dan ibunya. Aku sontak kaget mendengar hal tersebut. Karena orang yang mereka maksud sering sekali melewati jalan depan rumahku. Aku bergegas mencari ibuku dan menceritakannya. Ah ternyata ibu sudah tau, dan ibuku bilang, ia sekarang sudah diisolasi di wisma atlet yang letaknya didaerah Kemayoran. Huft.. tenang rasanya, tapi rasa takut juga membalut pikiranku.
Tak lama dari kejadian tersebut, sepupu dari ibuku yang tak lain tak bukan adalah tanteku mengikuti tes swab karena dalam waktu dekat ini ia akan melahirkan anak dalam kandungannya. Untungah hasilnya negatif. Sesaat sebelum melahirkan, ia kembali menjalani tes swab. Hey! Kenapa hasilnya reaktif? Entahlah. Sepertinya bayi laki-laki yang mungil serta ibunya itu tidak bernasib baik. Setelah proses melahirkan selesai, alih-alih diperbolehkan menggendong anaknya, ia malah dirujuk ke rumah sakit yang menangani covid-19 dan dirawat selama 21 hari. Sungguh malang nasibnya. Kebenaran pun tidak dapat dipastikan karena keluarga tidak ditunjukkan hasil swab yang menyatakan bahwa tanteku reaktif. Ohya.. kalau benar tanteku reaktif, kenapa pihak keluarga tidak dihimbau untuk isolasi mandiri? Ah, sangat meragukan.
Beberapa minggu berlalu, ayahku bilang ibu temannya sekarang dirawat dirumah sakit karena ada masalah diparu-parunya. Temannya selalu dihimbau oleh keluarganya “jangan menandatangani berkas yang menyatakan ibu positif covid-19 karena nggak ada bukti kalau ibumu positif.” seperti itulah kurang lebih himbauannya. Ah sepertinya himbauan itu terlupakan. Kakak dari teman ayahku malah menandatangani bekas yang dimaksud. Ibunya pun dirawat sendirian dirumah sakit tanpa didampingi orang terdekatnya sampai akhir hayatnya. Ya, ia meninggal beberapa hari setelahnya, keluarganya tidak diperbolehkan melihat dan membawa pulang jenazahnya. Tapi justru dikuburkan di TPU Pondok Rangon, tempat pemakaman khusus jenazah covid-19. Lagi-lagi pihak keluarga tidak dihimbau untuk isolasi mandiri, sangat meragukan.
Pengumuman pembagian rapot pun diedarkan. Ya, ‘pembagian’ bukan ‘pengambilan’. Jum’at besok, sebelum rapot dibagikan, akan diadakan pertemuan virtual para wali murid. Lagi-lagi bersangkutan dengan internet. Bosan rasanya. Kapan semua ini akan berakhir? Huft..
“DUARR!!” suara bantingan pintu yang keras. Aku membanting pintu kamarku dengan mata yang sudah tak sanggup menahan air yang berlinang. Dentuman langkah kakiku yang keras sudah bisa menceritakan suasana hatiku. “Bagaimana ini bisa terjadi? Aku sungguh tidak percaya. Apa kemampuanku benar-benar berkurang dimasa pandemi ini? Sepertiya ya, aku sungguh tidak mengerti materi pembelajaran disekolah”. Rank kelas ku menurun. Saat ini, hanya ada rasa cemas dibenakku.
Setelah 2 jam berlalu, akhirnya aku memberanikan diri untuk keluar kamar. Ibu ku selalu mensupport. Ibuku bilang, sekolah online tidak menjamin kriteria seseorang karena kejujuran dalam mengerjakan tugas dirumah sulit diandalkan. Perkataan ibuku ada benarnya juga, mungkin sekitar 50% nilai dari sekolah online ditentukan dari skill googling haha. Benar saja, temanku yang biasa saja dan dikelas 7 nya mendapat rank belasan, sekarang masuk 3 besar dan mengalahkanku. Sungguh sulit dipercaya.
Bagiku, kejujuran adalah hal penting. Selama kita masih sanggup untuk menjunjung kejujuran, kenapa tidak? Jadi tidak ada sedikitpun penyesalan yang ada dalam diri ini. Mengahargai dan peduli pada seseorang juga sangat penting. Yang lebih penting adalah menghargai dan peduli pada diri kita sendiri. Saat ini, aku hanya berharap untuk yang terbaik dan bersiap untuk yang terburuk.
Tidak ada yang perlu disesali. It’s okay not to be okay.
Gapapa belum sekarang, mungkin besok atau lusa.
~ Az Zahra Ailia Rahma