Anak tak pernah meminta dilahirkan, orang tualah yang berharap anak dihadirkan.
Tidak ada anak yang meminta dilahirkan ke muka bumi. Orang tualah yang menginginkan mereka hadir untuk mengusir sunyi dan mengisi hari. Ketika seorang anak lahir, mereka memulai hidupnya dengan tangisan. Semakin keras tangis anak, semakin haru bercampur bahagia hati orang tua.
Hari demi hari anak mengisi harinya di muka bumi, tanpa suatu apapun yang mereka ketahui. Mereka hanya tahu ada orang tua yang menjaga mereka. Ketika ada yang ingin mendekati mereka untuk sebatas menggendong atau memeluk mereka, mereka akan menangis ketakutan dengan keras. Meronta penuh tenaga. Anak hanya tahu bahwa yang ia bisa percaya hanya orang tuanya.
Berjalan waktu, anak mulai belajar makan, tengkurap, telentang, berguling, merangkak dan berjalan hingga berlari. Bersama waktu itu pulalah orang tua mengenalkan mereka pada orang lain. Pada kakek, nenek, bibi, paman, dan semua kolega serta kerabat orang tua. Menimang dan membanggakan setiap pencapaian mereka, sekecil apapun itu. Senyum masih melekat erat.
Hari berlalu cepat, anak mulai belajar berbicara. Mereka membeo suara yang mereka dengar. Tak peduli dengan makna dari kata yang terucap, semua terserap dengan cepat. Anak adalah meniru yang ulung. Dari suara hewan, doa dan pujian hingga sumpah serapah yang mereka dengan menjadi celoteh harian. Orang tua mulai binggung untuk mendidik dan mencoba membatasi pedengaran dan penglihatan anak.
Selanjutnya anak mulai belajar bertanya ini dan itu. Tentang perintah dan larangan yang mereka dengar, tentang berbagai alasan dari segala jenis perbuatan. Kenapa begitu? kok bisa? itu siapa? dan semua pertanyaan reaktif. Semua kalimat beo yang dia dengar mulai menjadi bahan pertanyaan, dan semua yang dilihat akan ditanyakan penuh penasaran. Pada tahap ini, orang tua yang malas belajar mulai kualahan dan lari dari keharusan.
Pertanyaan adalah sesuatu yang selalu dihindari, ditutup dengan kalimat arogan atau kepasrahan. “Kamu belum mengerti!”, “gak tau kamu kan yang belajar!” kalimat yang harusnya bisa diucapan dengan lebih kedewasaan karena sudah tua, tapi malah diucapkan dengan intonasi penuh emosi. Pada fase ini orang tua gagal menjadi rumah. Tak bisa lagi jadi rujukan, atau mencari kenyamanan.
Anak memaafkan orang tua dengan segala harapan untuk menjawab. Keinginan yang dibanyakan dan mencoba memahami keadaan. Orang tua mulai lupa betapa lucu dan menggemaskan anak-anak mereka. Orang tua juga lupa harapan yang pernah mereka sematkan. Dan sibuk menghindar dari pertanyaan-pertanyaan.
Anak kehilangan rumahnya, orang tua lupa harapannya. Pada fase ini semua berjalan masing-masing. Hingga anak mengingat pelajaran dari orang tuanya, bahwa ada orang lain dimuka bumi ini selain orang tua mereka. Anak merasa nyaman keluar dari rumah (baca : keluarga) hingga anak merasa asing dengan rumahnya (keluarganya). Mereka sangat nyaman dengan teman, sahabat, bahkan orang yang belum mereka kenal di dunia maya. Orang tua mulai kehilangan anaknya.
Anak menjadi canggung untuk berbicara, berbagi cerita dan bertukar pikiran. Binggung mulai dari mana. Orang tua menjadi kikuk untuk berdialog penuh sayang seperti saat anaknya berusia 2 atau 3 tahun. Semua canggung dan binggung. Pada fase ini semua memegang rasa sungkan dan penuh rahasia. Tak secair ketika awal mula.
Hingga pada waktunya semua saling melepaskan kaitannya, entah dalam kondisi suka ataupun duka. Tapi pasti ada air mata, penyesalan, dan doa. Banyak orang yang menginginkan hadirnya anak. Banyak anak yang ingin hadirnya orang tua. Kita tak pernah tahu bagaimana kita dilahiran, tapi yakinlah semua pasti punya tujuan.
Anak tak pernah meminta dilahirkan, orang tualah yang berharap anak dihadirkan.