"Bangsa kita baru bisa jadi bangsa pembeli teknolgi"
“Bangsa kita baru bisa jadi bangsa pembeli teknolgi”, Begitu
kira-kira kata yang saya kutip dari dosen yang kaya pengalaman dalam dunia pendidikan
di perkuliahan sekolah pasca sarjana. Masyarakat kita menjadi pengguna paling
aktif media sosial dalam beberapa survei. Maka wajiblah kita waspada bahkan mengevaluasi
setiap dampak yang mengiringinya.
View vs kualitas
Perkembangan teknologi selalu memberikan dua pilihan positif
sekaligus negatif. Seperti sebuah cahaya, benda, dan bayangan. Jika diibaratkan
teknologi adalah cayaha, manusia adalah benda yang tersinari, maka akan selalu
ada bayangan efek dari Cahaya tersebut. Demikian analogi yang saya utarakan
dalam artikel ini sebagai pengantar.
Perkembangan teknologi komunikasi membawa manusia keportal informasi
tanpa batas. Perkembangan kondisi terbaru yang terjadi di belahan dunia yang
sangat jauh, dengan teknologi informasi dapat tersebar sangat cepat.
Tak hanya informasi, teknologi komunikasi membawa arah baru
peradaban. Bahkan Mark Zuckerberg, Elon Musk, Bill Gates dan banyak orang-orang
besar abad ini sedang berlomba menciptakan dunia virtual versi mereka. Tak
percaya? lihatlah bagaimana media sosial anda berkembang dengan cepatnya!
Mengutip pernyataan Prof. Anna Suhaenah Suparno bahwa, “bangsa
kita baru bisa menjadi bangsa pembeli teknologi”. Dalam perkuliah rabu malam 7/11/2023
setelah kelompok saya mempresentasikan materi, sesi tanya jawab dan diskusi selesai
beliau dalam perkuliah hari itu menyampaikan beberapa pernyataan. Dan yang
sangat mengena bagi saya adalah kalimat “bangsa kita baru bisa jadi bangsa
pembeli teknologi”
Ingatan saya melayang pada terpilihnya presiden Amerika
Donald Trump. Menurut informasi yang beredar, ia berhasil mendapatkan data dari
Facebook tentang kebiasaan orang Amerika. Ia dan timnya mempelajari pola pikir
warga Amerika untuk mendapatkan simpatik sebelum pemilu. Dan akhirnya menang.
Saya juga teringat betapa saya pernah mengalami kecanduan game
online mobile legends. Saya juga terikat betapa gandrungnya
murid-murid saya pada aplikasi tik-tok yang penuh video pendek tentang
orang-orang yang joget-joget. Bahkan saya pernah dipaksa memperagakan video viral
yang bersama mereka dengan alasan kekompakan dan supaya FYP tanpa saya tahu FYP itu apa.
Cerita temannya teman saya
Pada suatu siang yang penuh dengan polusi udara. Teman saya setelah
mengerjakan tugas, membaca artikel berita dan mencari video-video inspirasi
pembelajaran. Akhirnya ia terinspirasi untuk meminta muridnya membawa HP ke
dalam kelas pada pembelajaran minggu depan. Hal ini ia lakukan lantaran ia juga
terinspirasi pada model-model pelatihan daring yang digiatkan pemeritah melalui
aplikasi.
Dengan menggebu dan bersemangat ia siapkan skenario. Ia juga
berdiskusi kepada guru yang sudah melakukan hal tersebut (sudah pernah meminta murid
membawa HP). Ia membuat kesepakatan bersama murid-muridnya bahwa HP yang mereka
bawa akan digunakan ketika jam pelajaran saja, sebelum dan setelah jam pelajaran HP akan
disimpan oleh guru.
Hari H dimana ia sudah merencanakan matang-matang pun hadir.
Asesmen yang dia buat pun dikirim ke murid berupa link google form. Pada saat
mengerjakan ada beberapa anak yang tidak serius mengerjakan asesesmen. Sebagai bentuk
teguran dan agar tidak menggangu teman-teman yang sedang berkonsentrasi
dibelakang akhirnya mereka diminta duduk di depan kelas. Seperti biasa,
anak-anak tersebut akan selalu tersenyum bahkan tertawa ketika diminta maju ke depan.
Namun tanpa ia ketahui ada satu murid yang memfoto murid
yang duduk di depan kelas tersebut. Foto itu diedit dengan cepat ditambah
kata-kata yang tidak pantas dan diberi musik. Sebuah bakat editing yang saya sendiri
masih terus pelajari. Setelah foto itu diubah menjadi video dengan kata-kata plus musik yang tidak pantas. Ia mengunggahnya ke status WhatsApp.
Teman saya (guru tersebut) memantau muridnya yang sudah selesai
mengerjakan asesmen. Sambil meminta beberapa murid yang gelagatnya mencurigakan
untuk membuka media sosial miliknya, “ada firasat”, katanya. Beberapa murid alhamdulillahnya
aman. Namun ketika teman saya membuka salah satu HP anak muridnya yang
sebenarnya tidak mencurigakan, ia melihat ada salah satu temanya (anak murid
lain) yang baru update status berupa video yang edit dengan kata-kata dan musik tak
pantas. Akhirnya teman saya (guru tersebut) memanggil murid yang baru update status itu dan
memintanya menghapus satusnya dan video dari galerinya.
Yang mengejutkan teman saya adalah anak ini adalah anak yang
sopan, cukup mengerti (dewasa pemikirannya) jika dinasihati dan dalam mengahadapi
masalah. Namun kenapa ia memiliki perilaku yang jauh dari keseharian aslinya
yang sopan, baik, dan mudah bergaul. Anak tersebut menjadi pribadi yang mudah memaki
di media sosial.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya
Teman saya yang kebingungan itu, mencoba berkonsultasi
dengan saya, (yang saya juga kebinggungan ketika ia berkonsultasi dengan saya,
apakah menurutnya permaslahan dan jalan keluarnya bisa diselesaikan setelah diskusi, entahlah). Sambil ngopi,
dia bingung dengan anomali perkembangan sosial budaya khususnya pada anak-anak
usia SD yang sudah terpapar radiasi teknologi hingga sangat mengkhawatirkan. Kangker
indivualitas, hipokrit muncul seperti bayang-bayang sejak kecil.
Ketika di kehidupan nyata seseorang menjadi pribadi yang supel,
mudah bergaul, friendly. Namun dalam media sosial ia menjadi orang yang apatis,
sombong, angkuh, suka menghina atau merendahkan orang lain. Dalam kehidupan
nyata ia adalah pribadi yang baik, namun dalam media sosial ia menjadi pribadi
yang suka menghasut.
Percakapan cukup dalam terjadi antara kami berdua. Mencoba memprediksi
kesalahan apa yang sebenarnya terjadi. “Lingkungan yang seperti apa tempat anak
itu tinggal?”, pertanyaan pertama dari saya untuk teman saya itu. Maka perlahan teman saya menyusuri pola asuh
orang tua. Dan yang tak disangka adalah orang tuanya memiliki prilaku yang
mirip dengannya.
Ia melakukan penelitian kecil-kecilan. Dilihatlah aktivitas
media sosial orang tuanya. Dan menemukan sesuatu harusnya menjadi refleksi bagi
kita semua sebagai orang tua. Dalam interaksi sehari-hari orang tuanya dalah pribadi yang ramah. Namun orang tuanya memiliki kebiasaan selalu mengumbar
masalah pribadi dan meluapkan emosinya ke media sosial. Dari 10 status terakhirnya
yang orang tuanya tulis, 6 status bernada nyinyir, 3 keluhan, 1 syukur yang dibalut
keluhan dan nyinyiran. Maka benarlah pepatah lama, buah jatuh tak jauh dari
pohonnya.
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari
Itu cerita teman saya yang si X, lain lagi teman si Y. Ia meresahkan
dunia mendidikan yang kini tak jauh beda dari dunia sinetron. Guru sering
sekali syuting. Entah dalam rangka ujian atau buat konten.
Awalnya ia tak merasa ada yang salah dengan hal itu semua. Jika
syuting untuk pemenuhan ujian, atau berbagi tips atau isitilah yang sedang hits
istilahnya berbagi praktik baik. Namun yang menjengahkan adalah syuting live "oknum edukator" ketika mengajar. Yang itu semua bukan dalam rangka syuting ujian atau berbagi
tips, tapi hanya sebatas say he pada penontonnya atau pemenuhan jam tayang untuk monitisasi.
Kini ia mempertanyaan apakah semua yang tersaji dalam video-video
yang selama ini ia tonton yang berwarna pendidikan itu real atau hanya ketika
kamera menyala. Apakah sama kualitasnya jika tanpa kamera. Bukankan jika kamera menyala fokus edukator bukan lagi pada murid, tapi pada layar HP yang merekamnya. Lalu benarkan hal tersebut?
“Tsunami teknologi bukan hanya menyapu murid dan orang tua sebagai masyarakat umum,
namun juga edukator. Bangsa kita baru jadi bangsa pembeli teknologi”. Begitu kata
teman saya mirip seperti apa yang disampaikan dosen saya.
Epilog
Dari perkulihan dan pengalaman dua teman saya itu saya menemukan
gambaran runyam pendidikan. Tentu para pembaca bisa menarik kesimpulan yang
beragam. Namun saya menemukan fakta runyamnya pendidikan kita hari ini. Teknoogi
membawa masyakarat dalam arus budaya konsumtivisem akut pada konten-konten menghibur tanpa mengedukasi. Dan parahnya ada saja oknum edukator yang
turut memproduksi budaya tersebut.
“Buah jatuh tak jauh dari pohonya Guru kecing berdiri murid
kencing berlari. Dan bangsa kita baru bisa jadi bangsa pembeli teknologi.”