uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

Menggugat Hilangnya Kesopanan di Kehidupan Sehari-hari

Lempar Makanan dan Warisan Kebiasaan Elit: Pendidikan Adab yang Tertunda

Kemarin, salah satu siswa di kelas melempar makanan kepada temannya. Katanya, itu adalah bentuk berbagi, tapi caranya sungguh jauh dari adab. Sebuah tindakan yang mengundang pertanyaan: dari mana mereka belajar kebiasaan seperti ini? Setelah direnungkan, jawabannya ternyata sederhana, sekaligus menyedihkan ini adalah hasil meniru dari tontonan yang kerap mereka saksikan. 

Berapa kali kita melihat pemimpin berbagi kaos, susu, atau sembako dengan cara melemparnya dari atas mobil kepada masyarakat? Sering, bukan? Warga yang seharusnya dihormati justru didorong berebut seperti lele lapar di empang. Jika perilaku ini dianggap lumrah oleh para pemimpin, pantaskah kita menyalahkan anak-anak yang kemudian menirunya di kelas? Mereka belajar bahwa berbagi tidak membutuhkan penghormatan, cukup asal-asalan saja. 

Guru sering menjadi kambing hitam jika SDM dianggap rendah. “Kenapa gurunya tidak mengajarkan adab?” Kritik ini sering diarahkan kepada sekolah. Namun, adab tidak tumbuh dari ruang kelas saja. Anak-anak melihat apa yang dilakukan tokoh masyarakat, pemimpin, bahkan tokoh agama. Ketika figur yang seharusnya menjadi panutan malah mempertontonkan penghinaan terhadap orang lain—misalnya, menghina tukang asongan di depan umum—apa yang bisa diharapkan? Masyarakat akan menormalisasi perilaku tersebut, dan anak-anak menginternalisasi bahwa itu lumrah.

Kasus tokoh agama yang menghina tukang asongan adalah contoh nyata betapa buruknya sikap yang kerap dipertontonkan. Bukannya memberi teladan baik, yang terlihat justru arogansi dan ketidakpedulian terhadap sesama. Padahal, bagi anak-anak, perilaku seperti ini menjadi pelajaran. Jika orang dewasa yang dihormati saja tidak menghargai sesamanya, mengapa mereka harus melakukannya?

Menanamkan Adab Sejak Dini

Masalah ini bukan hanya tentang kesalahan seorang siswa atau seorang tokoh. Ini adalah cerminan budaya yang perlu kita ubah bersama. Pendidikan adab harus menjadi tanggung jawab kolektif, bukan hanya milik guru. Pemimpin, tokoh agama, dan masyarakat harus memberikan contoh yang baik. Sebab, berbagi adalah tindakan mulia, tetapi harus dilakukan dengan cara yang menghormati martabat manusia.
Ada tiga langkah sederhana yang bisa kita lakukan:
  • Memberi Contoh yang Baik: Di rumah, di sekolah, dan di ruang publik, tunjukkan cara berbagi yang menghormati. Berikan barang dengan tangan, sambil melihat mata orang yang menerima. 
  • Menegur dengan Bijak: Jika kita melihat ada perilaku elit atau tokoh yang tidak patut dicontoh, suarakan kritik dengan cara yang konstruktif. 
  • Meningkatkan Pendidikan Karakter: Guru di sekolah perlu memasukkan diskusi tentang adab dalam kurikulum, dengan mencontohkan situasi nyata yang relevan dengan siswa. 
Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka tidak hanya menyerap apa yang diajarkan, tetapi juga apa yang diperlihatkan oleh lingkungan. Jika kita ingin bangsa ini bermartabat, mari kita ubah cara berbagi dari sesuatu yang “merendahkan” menjadi sesuatu yang “mengangkat.” Sebab, berbagi dengan penuh penghormatan adalah fondasi bangsa yang kuat.
Dengan memutus rantai contoh buruk yang ditampilkan oleh figur publik, kita bisa menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beradab. Dan siapa tahu, suatu hari, anak-anak kita akan melemparkan kebaikan kepada dunia, bukan sekadar makanan tanpa adab.


Related Posts
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment